Ambisi

Namaku Radi dan hari ini adalah saatnya melihat hasil belajarku selama setahun alias rapotan. Jujur, aku tidak pernah kecewa atas nilai-nilaiku. Mengapa? Ya karena nilaiku bagus-bagus. Kalau dilihat satu persatu, aku tidak pernah mendapat predikat C. Paling jelek B+. Oh, aku hampir lupa. Aku pernah mendapat C satu kali, sepertinya saat kelas IV SD. Saat itu, aku terlalu fokus pada tiga mapel utama yaitu Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia. Pelajaran Prakarya pun dilupakan sehingga aku hanya mendapat nilai 85. Setelah kuingat-ingat lagi, aku dimarahi habis-habisan oleh orangtuaku saat itu.

            Ngomong-ngomong tentang dimarahi habis-habisan, aku cukup sering dimarahi oleh orangtuaku, terutama ibuku. Aku bingung banget, apa yang membuat mereka marah padahal nilaiku ini sudah bagus. Katanya aku harusnya masih bisa lebih bagus dari itu dan sebagainya. Capek sebenernya dimarahi terus, tapi bisa dibilang aku sudah biasa. Emang nggak baik sih kalau dipendam terus, tapi mau bagaimana lagi? Puji Tuhan aku punya Aya, pacarku. Kalau udah cerita ke Aya, aku bisa ngelupain sejenak tentang ini itu.

            “Piye Rad, sekolahe? Bijimu apik-apik to? Apik lah, Radi mosok bijine elek,” sambut ibu tiap aku pulang sekolah.

 “Apik Bu, mosok iyo entuk biji elek,” dan salahku juga selalu mengiyakan.

            Seperti biasa setelah pulang sekolah, aku ganti baju, makan, minum, dan yang tak akan dan tak mungkin dilewatkan adalah ngasih makan Coro. Loh ngapain kecoa diberi makan? Tenang dulu sobat, Coro itu anjingku. Kenapa dinamai Coro? Iseng aja. Sambil ngasih makan Coro, aku biasanya dengerin podcast, tentang apapun itu. Kadang percintaan, motivasi biar maju, pertemanan, dan perhororan alias perhantuan. Asik banget udah kalau dengerin podcast horor. Kita bisa ikut ngebayangin sosok yang dibicarain tanpa khawatir akan adanya jumpscare yang biasa kita temui di konten visual.

            Setelah semua hal itu, aku balik ke kamar. Untuk apa? Untuk belajar sampai mampus. Jeglek. Krieett... ayah datang.

            “Halo anakku, gimana udah milih SMA belum?” kata ayahku tanpa basa-basi.

            “Belom, Yah. Masih mikir-mikir,” jawabku yang selalu sama.

            “Negri yo, ben le mlebu UGM lancar. Oke? Kedokteran oke? Siap laksanakan,” katanya.

            “Hehehe liat nanti yo Yah,” jawabku ragu-ragu.

            Oke, sekarang kita lihat ada tugas apa. Asik, Matematika. Kenapa Matematika selalu banyak tugas sih? Iya aku bisa, tapi aku nggak suka. Kenapa pelajaran SBD selalu jamkos padahal asik? Ah kerjain aja lah, daripada ribut sama diri sendiri. Tugas matematika, PPKn, Bahasa Inggris selesai. Sekarang jam 7 saatnya makan dan mandi.

            Selesai mandi aku mau refreshing di kamar. Nyetel lagu asik sambil nyiapin kuas, pensil, penghapus, cat akrilik, air, dan totebag yang mau kulukis. Gambari apa yaa? Aku mau gambar daun wae lah. Simpel nan easy.

            “Radiiiiii! Sinau koe ki, ra malah nggambar-nggambar ra mutu! Ha? Ngrungokke nek dikandani ki!” Ah sial aku kaget.

            “Hmmm wong sedilit kok, tugasku wis rampung kabeh!” kataku membalas.

            “Rad, ini Ayah bawain buku tentang penyakit dalam. Ayah pinjem perpustakaan sekolah. Dibaca, jadi dokter harus banyak baca ya,” kata ayahku yang terdengar baik tapi membuatku sedikit putus asa.

            Dokter, dokter, dokter terus. Ayah ibu sama saja. Asal kalian tahu, tak pernah terbesit di pikiranku untuk menjadi dokter. Bukannya tidak ingin berguna bagi orang lain, tetapi aku punya cita-cita lain yang sangat bertolakbelakang dengan apapun yang berkaitan dengan dokter. Rencananya  ingin buka perusahaan pakaian. Aku suka desain. Produk-produkku besok aku yang mendesain sendiri. Tak hanya untuk menyalurkan bakat, aku ingin menciptakan lowongan pekerjaan yang baru. Tapi, sepertinya ayah dan ibu sama sekali tidak mendukungku. Mereka tidak pernah mendengarkan aku mau jadi apa. Mereka tak pernah memberiku kesempatan untuk bicara. (Yustina Gustianingtyas Padmonegoro IXF/35)